Jumat, 21 November 2008

Sastra

Rembulan di Atas Kepala

Cerpen : Nur Faishal

Bahwa rembulan sebagai simbol keindahan seorang wanita, sudah kudengar dari bait syair para pujangga berabad-abad lalu. Bila kemudian rembulan disanksikan keindahannya setelah manusia berhasil mendarat ke bulan, aku juga pernah mendenganya dari syair lagu seorang penyanyi dangdut.

Dan sekarang aku benar-benar bertemu rembulan. Rembulan itu hadir di saat malam hampir kehabisan suasana sunyinya. Datang tiba-tiba tanpa permisi, tanpa kuminta. Rembulan itu bertengger di atas kepala. Hampir sejengkal menindih ubun-ubunku. Dan aku benar-benar kecele. Bukankah rembulan seharusnya menggantung di atas langit yang tak berbatas?

Dia hadir di suatu malam tanpa mimpi. Kapan dia datang, bagaimana, apakah sudah menungguku berjam-jam lamanya, direncanakan atau tidak? Aku tak tahu! Rembulan di atas kepala. Tiba-tiba begitu. Selasa malam, di malam Rabu, dia menghampiriku. Merusak imaji yang sedari awal kurangkai di serpihan kata-kata.

“Kau sedang melukiskan kata-kata tentangku?” tanyanya mengagetkanku.

Terawangku berhenti. Aku tertegun. Malam itu suasana gelap gulita. Maklum, bulan hijriyah memasuki hari yang pertama. Tak mungkin ada sinar rembulan menghiasi langit hingga larut malam.

Tapi rembulan hadir menyalahi waktunya. Di atas kepalaku dia tersenyum. Memanggilku dengan nada merayu. Sinarnya begitu indah. Bukan pantulan matahari, pikirku. Sinar itu muncul dari dirinya sendiri. Dari bulat matanya kulihat sinar itu berasal.

“Kalau boleh tahu, kau menuliskan kata-kata untuk siapa?”Aku masih tertegun. Kusorot sinarnya serupa menantang. Sinar itu tak gentar sama sekali. Tiada meredup sedetik pun.

“Benarkah, sekarang aku berhadap-hadapan dengan rembulan?” Tanyaku.

“Ya.”

Dia menjawab begitu tegas. Aku tak percaya. Barangkali teman-temanku yang sedari tadi berkumpul bermaksud mengerjaiku: meniup balon raksasa lalu mengisinya dengan lampu hingga menyerupai cahaya rembulan.

“Aku rembulan sebagaimana kau curigai. Aku turun ke bumi untuk menuntaskan rasa kagummu. Tulislah dalam imaji kata-katamu. Perlihatkan kelihaianmu dalam melukiskan hayal indahmu, tentangku….”

Oh, rembulan itu kini turun ke pundak kiriku. Wajahnya lebih jelas daripada tadi. Kucoba menyentuhnya. Tak ada bersitan lobang atau bekas luka yang kutemui. Kuraba-raba permukaannya. Halus.

“Kau ingin menikmati diriku?” Tanyanya.

Kutekuk mukaku, tak percaya. Kugosok-gosok mataku, hingga pedih dan panas menimpa penglihatanku. Dan kini, rembulan itu semakin turun. Bergeser menghampiri mukaku.

“Kau masih tak percaya kalau aku benar-benar rembulan seperti dalam mimpimu itu?” Tubuhku semakin terasa kaku mendengar tanyanya dari jarak dekat..

“Ayolah, jangan diam saja. Kau menginginkanku. Jangan sia-siakan ini sebelum orang lain merebut diriku dari kesempatanmu.”

“Kau tak ada dalam mimpiku. Pergilah!” Gertakku.

“Kau masih belum mempercayaiku?” kata rembulan, merajut.

Ada yang lain yang hendak kau singgahi. Kau hanya kebetulan saja menemuiku. Tanpa rencana, seperti takdir.” Jawabku. Aku masih berdiri mematung. Mencari celah-celah kebohongan rupa dari kehadiran sang rembulan.

Dia mundur sejengkal demi sejengkal. Kupikir dia mulai bosan dengan jawaban-jawabanku. Tegunku mulai membuyar. Rembulan itu semakin jauh meninggalkan pintu. Nafasku semakin kencang. Ada rasa takut di dalam hatiku. Aku takut jangan-jangan rembulan itu benar-benar pergi lantaran kutolak rajut manisnya. Aku takut dirinya rembulan sebagaimana dikatakannya. Aku tak ingin kesempatan hilang begitu saja.

“Sebelum aku benar-benar pergi, maukah kau mengatakan tentang yang sesungguhnya? Tentang aku dalam mimpi-mimpimu. Tentang imaji kata-katamu yang hendak kau sematkan padaku. Aku hadir tanpa kau minta karena panggilan imajimu!”. Rembulan berteriak. Sangat kencang. Benar. Rasa takut itu ternyata datang karena rembulan itu hendak meninggalkanku.

Kuulurkan tanganku selurus mungkin. Kucoba memanggilnya dengan bahasa senyumku. “Kemarilah….” teriakku. Dia kembali.

*****

Rembulanku adalah kidung nyanyian sang kafilah pengagum keberanian. Dia ceritakan padaku setelah dirinya tak jadi pergi menjauhiku. Berabad-abad lamanya para penyair memuja-muja dirinya, namun tak ada satupun yang mampu memberikannya tempat keberanian yang dia impikan. Keberanian hanya milik matahari, yang memberikannya sinar hingga indah menjadi miliknya. Indah terkatakan di waktu malam karena matahari.

Padahal, ceritanya, malam adalah lambang keketiran. Gelap adalah pertanda segala mara bahaya. Tak ada yang berani melewati malam, kecuali dengan rasa awas dan langkah waspada. Dan rembulan telah mengambil resiko malam. Dia tak gentar dengan bekunya angin malam yang menyelimuti tubuh telanjangnya. Dia juga tak takut kalau dirinya akan tersesat di tengah-tengah ruang raksasa tanpa batas.

“Lalu disimpan dimana kata-kata heroik para pujangga untuk sang rembulan?” dia menanyakan itu padaku. “Mengapa hanya matahari yang selalu disebut-sebut sebagai sang pemberani oleh mereka? Padahal, hanyalah aku yang sanggup melewati malam yang penuh keketiran dan mara bahaya itu.”

Pertanyaan kedua membawaku pada permenungan yang panjang. Pertanyaan yang lain terlewatkan begitu saja. Ya, mungkin benar apa yang dikatakannya. Hanya matahari selama ini yang tampak heroik dan berani. Hanya dia yang gagah bersinar. Rembulan tidak. Dia bukan matahari. Rembulan hanya ranumnya sinar keindahan yang dikirim dari matahari. Dalam jiwa para pujangga, juga para ilmuwan, rembulan tak akan ada jika matahari tak ada.

Lalu apa arti malam bagi rembulan? Tak ada bait-bait syair yang mengutarakan tentang arti malam bagi rembulan. Atau benarkah adanya jika manusia memaknai malam sebagai kerendahan bagi rembulan. Atau juga sebagai kelemahan di tengah-tengah lautan hitam yang menggila dan menguasai. Atau jangan-jangan rembulan adalah ketidakberdayaan itu sendiri. Dan malam adalah tempat paling pantas bagi rembulan yang tak bertujuan.

Jika memang demikian, matahari adalah pahlawan. Matahari yang menentukan rembulan berjalan kesana atau kesini. Matahari yang menghendaki jika rembulan harus bersinar di tengah-tengah gelapnya malam. Matahari yang menginginkan kalau rembulan memang pantas ditempatkan di waktu malam. Bahkan matahari pula yang menandaskan jika rembulan tak lebih kuat daripada segenggam air di dalam gelas.

“Begitu kata mereka pengagum matahari,” ketusnya.

Dan rembulan yang satu ini menyangkal semua persangka tentang dirinya. Dia berontak dengan meloncat dari atas langit. Keluar dari sangkar lurus yang mengekang jalannya, yang menjadi sebab hilangnya kebebasan dirinya. Dia katakan pula padaku, lebih baik tanpa sinar menerangi tubuhnya jika harus berjalan tanpa kehendak sedikit pun. Selama ini dia merasa tak pernah merasakan keberadaan dirinya sendiri.

Suatu saat rembulan itu bermimpi ingin menjadi air. Dia mengenal air semenjak dia dicipta. Bersama air dia pernah mengguyur permukaan bumi bersama-sama. Karena air pula dia sempat tahu, tak selamanya matahari mampu menguasai keadaan. Air pernah melakukannya. Menutup sinar matahari di waktu siang dengan tindakan membekunya. Hingga jadilah air beku itu kabut menggumpal. Dan sinar matahari benar-benar redup karenanya.

Dia juga pernah bertemu angin. Air yang memberitahukan rembulan tentang angina yang dilihatnya itu. Suatu malam air bersama angin mengoyak-ngoyak seluruh permukaan bumi. Bumi dikurung dengan rupa air. Permukaannya bergejolak hebat, menggelombang. Angin membuatnya berduncak-duncak. Selama berbulan-bulan air memenuhi permukaan bumi dengan dirinya. Angin membantunya dengan mempercepat luncurannya, hingga menghunjam-hunjam. Sampai tak ada satu pun manusia dan makhluk lainnya hidup, kecuali seperahu manusia saja dan beberapa binatang piaraan.

Saat itu matahari tak sedikit pun menampakkan sinarnya. Matahari tak berani. Hanya . rembulan saat itu yang berani melakukan apa yang selama ini dilakukan matahari. Selama berbulan-bulan rembulan bekerja menyinari bumi yang dipenuhi air dan gelombang.

“Tidakkah kau bisa menggantikan matahari, Bulan?” Kata air dan angin di hari akhir rembulan bekerja.

“Lihat! Dengan sinarmu, sebuah perahu kehidupan telah kau selamatkan. Matahari tak berani melakukan itu, Bulan. Kau. Hanya engkau yang berani melakukannya. Kau telah membuktikannya.”

Dari air dan angina, rembulan tahu akan hakekat keberadaannya, kebebasannya, dan penciptaannya.

“Aku bisa ada tanpa hadirnya matahari, bukan?” sergahnya padaku.

Dan kini, rembulan ada karena dirinya sendiri. Setidaknya dari apa yang telah dia lakukan sebelum betengger di atas kepalaku. Dia telah membuktikan keberaniannya dengan meloncat dari garis jalan yang ditentukan matahari. Singgah di atas kepalaku setelah air dan angin menuntun jalan kebebasannya.

*****

Rembulan itu bernama Santa. Aku sendiri yang menamainya. Santa, karena temaram sinarnya menggambarkan sorot penasaran yang tak pernah berhenti. Santa, karena kelopak bulat mukanya memilintir ke atas. Menjuntai lentik. Seperti kelopak sipit serupa kantuk. Hampir mengatup namun tak sampai.

Dan dia telah mengatakannya padaku dalam perjumpaan tiba-tiba itu: dia tak ingin hidup dalam ingatan sejarah berabad-abad. Dia ingin hidup sebagai sejarah itu sendiri. Menjuntai sejarahnya sendiri. Memelintir sejarahnya sendiri. Melentik sejarahnya sendiri.

Katanya di akhir perjumpaan: “Karena aku adalah rembulan yang berani mengambil resiko malam. Sebab aku adalah rembulan yang berani hengkang dari genggaman sinar panas matahari. Untuk itu aku hadir di atas kepalamu. Tolong kabarkan kepada dunia perihal keberanianku ini. Dengan imaji kata-katamu aku berharap demikian.”

* Nur Faishal, Anggota Pondok Budaya IKON, sedang menyelesaikan S1 di Unsuri Surabaya

Cerpen ini pernah dimuat Duta Masyarakat, Minggu, 17 Nopember 2008

Tidak ada komentar: